Iswadi Suhari
Bekerja di BPS.
Mendapat gelar Master of Natural Resource Economics
dari the University of Queensland, Australia.
“Terbebas dari kemiskinan”. Rasanya penggalan kalimat tersebut sangat layak untuk mendapat perhatian khusus terutama untuk negara Indonesia. Seberapa bebaskah negara tercinta ini dari kata yang sangat tidak diinginkan oleh siapapun di dunia ini. Berbicara kemiskinan di Indonesia hampir sama dengan bicara kemiskinan petani karena dari 28,60 juta penduduk miskin pada bulan September 2012, sebanyak 63,25 persen merupakan penduduk pedesaan yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai petani atau buruh tani.
Hal yang lebih menyedihkan adalah peningkatan Garis Kemiskinan yang menentukan jumlah penduduk miskin di negeri ini sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan Makanan yang berkontribusi sebesar 77 persen untuk daerah pedesaan. Hal ini mengindikasikan penduduk miskin pedesaan di Indonesia utamanya miskin akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini tentu saja sangat ironis mengingat pangan yang dijual dipasar adalah hasil keringat mereka. Pelaku produksi pangan sendiri tidak mampu membeli pangan.
Pemerintah bisa saja sedikit berbesar hati dengan penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 398 ribu orang atau turun 0,42 persen. Akan tetapi jika dilihat indeks kedalaman kemiskinan yang naik dari 1,88 persen di bulan Maret 2012 menjadi 1,90 persen di bulan September 2012 serta angka keparahan kemiskinan yang juga naik dari 0,47 persen menjadi 0,48 persen, seyogyanya pemerintah menyadari bahwa penderitaan yang dialami penduduk miskin sebenarnya semakin menjadi.
Indikator lain yang sering dijadikan gambaran tingkat kesejahteraan petani yang mungkin secara kasar dapat dijadikan salah satu acuan tingkat kebahagiaan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Walaupun NTP hanya menyiratkan tingkat daya beli petani pada barang-barang kebutuhannya dibandingkan dengan nilai produksi hasil usahanya, setidaknya angka ini dapat menunjukan kemampuan petani dalam membeli kebutuhan hidupnya.
Data BPS menunjukan pada periode Januari-Februari 2013 terjadi penurunan NTP sebesar 0,45 persen. Walaupun indeks harga yang diterima petani mengalami peningkatan, tetapi peningkatan index harga yang dibayar petani jauh lebih besar. Artinya peningkatan harga sarana produksi pertanian dan harga kebutuhan hidup petani lebih besar dibandingkan peningkatan harga hasil pertanian. Turunnya nilai NTP ini juga dipengaruhi inflasi perdesaan sebesar 0,66 persen yang lagi-lagi diakibatkan oleh meningkatnya harga bahan makanan.
Tata niaga bahan makanan yang belum sepenuhnya berjalan dengan baik mengakibatkan peningkatan harga pangan di Indonesia tidak memberikan keuntungan pada petani. Jika terjadi peningkatan harga pangan, petani justru menjadi korban dan justru mengurangi daya beli akan bahan pangan. Peningkatan harga pangan terjadi bukan akibat pasar yang berjalan dengan baik dan efisien tetapi justru terjadi akibat ulah curang sebagian pelaku pasar yang mencari keuntungan di tengah kesengsaraan masyarakat.
Kedaulatan Pangan
Dalam kondisi ketahanan pangan yang pemerintah, pengusaha, para peneliti, dan pelaku pasar pangan harus kembali merenung dan menengok kondisi yang sedang tidak dialami petani. Semua warga negara yang memiliki kemampuan dan akses terhadap arah kebijakan pembangunan selayaknya kembali menjadikan kedaulatan pangan negeri ini sebagai prioritas utama. Sudah menjadi takdir, kebahagiaan di negeri ini berawal dari kebahagiaan yang terjadi di desa. Kebahagiaan yang akan mendorong petani untuk berjuang bersama menegakan kedaulatan pangan negeri.
Setidaknya mungkin itulah mengapa Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki-moon, dalam sambutannya pada Hari Kebahagiaan Sedunia Maret silam mengingatkan kembali kesepakatan pada Konfrensi Pembangunan Berkesinambungan Rio+20 tahun lalu tentang perlunya pendekatan pembangunan berkesinambungan yang seimbang dengan mengintegrasikan tiga pilar yaitu pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan alam. Kebijakan yang lebih baik selayaknya tidak hanya didasarkan pada peningkatan PDB semata tetapi harus dibarengi dengan ukuran-ukuran perkembangan lain yang lebih luas termasuk mudahnya akses terhadap pangan dan kemampuan memperoleh makanan.
Seperti saran Ban Ki-moon, pemerintah sudah sepatutnya membuat rancangan kebijakan berdasarkan indikator terkait makhluk hidup yang komprehensif, tidak hanya mengejar “pendapatan” dalam bentuk finasial tapi juga “penyediaan” kebutuhan tidak boleh terlupakan. Semoga masa depan petani yang lebih baik dapat tercapai dengan meningkatkan kepedulian pada sesama termasuk kepedulian pada petani yang akan menciptakan masa depan seperti yang kita inginkan.
1 komentar:
setuju sekali, padahal mayoritas penduduk Indonesia adalah petani, semoga pemerintah tidak memandangnya sebelah mata saja
Posting Komentar