Menuut Erdiman, peneliti dari Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat, yang pertama kali
mengenalkan budidaya padi Salibu, teknologi budidaya padi Salibu
merupakan cara menanam padi dengan sekali tanam namun bisa dipanen lebih
dari tiga kali. “Padi Salibu dapat tumbuh lagi setelah batang sisa
panen dipangkas. Tunas akan muncul dari buku yang ada di dalam tanah.
Tunas tersebut akan mengeluarkan akar baru sehingga pasokan unsur hara
tidak lagi tergantung dengan batang lama,” jelasnya. Menurutnya, tunas
tersebut bisa membelah atau bertunas lagi seperti padi tanam pindah
sehingga membuat pertumbuhan dan produksinya sama tinggi, bahkan lebih
tinggi dibandingkan tanaman induknya. Ini yang membuat padi Salibu
berbeda dengan padi ratun yang tumbuh dari batang sisa panen tanpa
dilakukan pemangkasan batang.
Menurut Erdiman, dari hasil uji coba
budidaya Salibu di beberapa daerah di Sumatera Barat menunjukkan hasil
yang cukup bagus. Hasil panen di Nagari Pauh, Kecamatan Matur, Kabupaten
Agam, berhasil meningkat 20% dari tanaman pertamanya. Di Kecamatan Lima
Kaum, Kabupaten Tanah Datar meningkat 10%-15 % dari tanaman pertamanya.
Meskipun belum diujicoba di banyak tempat, Erdiman optimis budidaya
ratun yang dimodifikasi ini mampu meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) di
Indonesia. “Dengan Salibu, waktu produksi menjadi lebih pendek, hanya
membutuhkan 80%- 90% waktu dibanding tanaman pertamanya. Di samping itu
biaya lebih irit karena hemat benih dan tenaga kerja,” jelasnya.
Beberapa petani di Kecamatan Gerih,
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur mengakui bahwa dengan budidaya Salibu,
selain biaya produksinya murah, juga hasil panennya lebih banyak.
Seperti yang diungkapkan Sukrisnan yang panen padi Salibu pada tanam
pertamanya menghasilkan 7,1 ton per hektar. Meskipun pada tanam kedua
turun menjadi 6,5 ton per hektar, dia masih banyak diuntungkan pada
penanaman yang kedua. “Memang panen turun 0,6 ton per hektar, tapi
keuntungan lebih banyak pada tanam kedua, karena tidak mengeluarkan
biaya untuk benih dan biaya olah lahan,” jelasnya.
Hal senada dikatakan Jumadi, Ketua
Gapoktan Sido Makmur, Kecamatan Gerih, yang juga menanam padi Salibu.
Pada lahannya seluas 1,5 hektar dia mendapatkan hasil panen yang kedua
sebanyak 7 ton per hektar. Biayanya juga lebih murah dibanding dengan
sistem tanam pindah (tapin). “Pada tanam kedua cukup dengan biaya Rp 650
ribu saja, dibandingkan dengan ketika mulai menanam lagi, saya harus
mengeluarkan biaya minimal Rp 5 juta,” kata Jumadi.
Yang pasti menurut Erdiman, budidaya
salibu akan meningkatkan indeks pertanaman karena tidak lagi melakukan
pengolahan tanah, persemaian dan tanam sehingga rentang waktu produksi
lebih pendek. Budidaya ini secara tidak langsung juga dapat
menanggulangi keterbatasan varietas unggul, karena pertumbuhan tanaman
selanjutnya terjadi secara vegetatif maka mutu varietas tetap sama
dengan tanaman pertama. (Bambang Sugianto)
0 komentar:
Posting Komentar